Batu Belah Batu Bertangkup
Cerita Bangka Barat
Ketika itu sebuah desa tak jauh dari pantai, kerimbun pohonnya masih lestari. Air sunyi masih mengalir jernih, gemercik air terdengar dicelah batu. Pada zaman dahulu, disebuah ladang yang agak semak ditumbuhi rumput liar. Di cakrawala awan tipis berarak perlahan-lahan, cicit burung terdengar bercanda lincah di pepohonan, sang bayu pun menerpa dengan leluasa. Tampak seorang ibu setengah baya bernama Delima Pauh sedang merumput dengan kedik, sekali-sekali membersihkan keringat yang telah membasahi wajahnya yang masih terlihat cantik itu. Meskipun dia kelihatan sudah agak letih, tetapi pekerjaan ini tetap dilakukan demi ke2 anaknya yang masih kecil. Si sulung bernama Bujang Laut dan berumur 12 thn. Si bungsu bernama Dewi Sukal berumur 3thn dan ayah mereka sudah lama meninggal.
Sang ibu terus saja bekerja dan merumput, serta tiada terasa begitu asiknya, tiba-tiba tangannya terhenti merumput karena ada seekor belalang kunyit yang begitu jinak merayap dirumput.
Setelah diambil, belalang tersebut kemudian disimpan didalam siding ( keranjang ) lalu dibawanya pulang kerumah. Sesampai dirumah, kedua anaknya pun meyambut sang ibu dengan riang gembira, tetapi sang ibu tetap merahasiakan atas penemuan belalang kunyit yang agak aneh tersebut. Maka pada malam harinya setelah sang ibu menidurkan ke2 anaknya, dibukalah siding tempat menyimpan belalang kunyit tadi dengan hati-hati.
Tiba-tiba menjelmalah belalang tadi menjadi seorang pemuda gagah dan tampan seraya memperkenlakan diri bernama Megat Mambang Dewa. Dari perkenalan yang relative singkat it, tatapan mereka beradu, menerpa dinding hati, menyelusuri pembuluh nadi hingga menggetarkan sinar-sinar cinta yang romantic.
Keesokan harinya ketika hendak berangkat keladang, sang ibu berpesan kepada ke2 anaknya supaya siding yang disimpan itu jangan dibuka. Kemudian si anak bertanya dengan penasaran, tetapi si ibu tetap ngotot agar siding tersebut jangan dibuka lantas si anak mengangguk setuju. Setelah si ibu pergi, kedua bocah cilik tersebut merasa ingin tahu, lalu dibukalah tutup siding tersebut perlahan-lahan dan dilihatnya ada seekor belalang. Si bungsu pun kegirangan dan seraya berkata kepada kakaknya agar membakar belalang tersebut, tetapi sang kakak menolak, maka si adik menangis meronta-ronta hingga tak bisa dibujuk. Tiada jalan bagi sang kakak selain menuruti kemauan adiknya. Kemudian dibakarlah sebelah kaki belalang tadi, tetapi si adik minta kaki yang satu lagi dan akhirnya minta dibakar keseluruhannya.
Belalang habis dibakar dan dimakan adiknya, maka pulanglah sang ibu dari ladang. Setelah mendapat penjelasan dari anaknya, sang ibu sangat kecewa sekali. Betapa tidak, karena belalang yang telah dibakar dan dimakan kedua anaknya adalah sang kekasihnya yang bila pada jam12 malam menjelma menjadi seorang pemuda dan ketika ke2 anaknya tertidur lelap, sang ibu pun memadu kasih dengan pemuda idamannya sampai fajar menyingsing.
Malam-malam indah dilalui begitu singkat. Kedua insane tersebut menelusuri pantai Kundi yang berpasir putih itu bergandengan begitu mesra. Semilir angin sepoi berhembus menerpa dedaunan pohon aru seakan menjadi saksi bisu betapa agung karat cinta yang terpatri di benak ke2 insan tersebut.
Diatas batu yang dihempas gelombang mereka duduk mencurhakan isi hati. Ketika itulah Meget Mambang Dewa menjelaskan dirinya yang sebenarnya bahwa dirinya adalah putra raja seberang yang dikutukmenjadi seekor belalangkarena menolak dikawinkan dengan wanita yang mencintainya dan dibuang kepulau ini. Kutukan tersebut bisa berakhir bila ada seorang wanita yang mencintainya dan bersedia kwin dengannya dengan persyaratan pada malam jumat lima belas hari bulan tepat jam 12 malam, ketika wujudnya menjelma menjadi manusia dan kelus ( bungkus )belalang yang ada dibakar dengan kemian putih. Itu adalah sumpahnya kata Meget Mambang Dewa kepada delima Pauh dan Delima Pauhmpun gembiranya tak terbayangkan menunggu tiga malam lagi. Bulan purnama ynag mengikrarkan janji setia bahwa cinta mereka hanya dipisahkan oleh kematian.
Namun apa hendak dikata, rencana tinggallah rencana. Takdir berkata lain. Betapa hancur nya hati sang ibu. Dengan derai air mata dia menyudahkan segalanya. Tinggal sekelumit kasihnya terhadap ke2 buah hatinya, sang ibu membuai anaknya sampai tertidur, kemudian membuat bubur seperiuk dan menyiapkan 14 daun simpur yang berbentuk limas, lalu diletakkannya dua buah ditengah rumah. Satu berisi bubur dan satu lagi berisi air susu. Kemudian pergilah sang ibu meninggalkan anaknya yang masih tertidur. Tiba-tiba sang anak terbangun dan mendapatkan seperti apa yang ditinggalkan ibunya di tengah rumah. Setelah dinikmatinya kedua bocah itu sadar bahwa ibunya akan meninggalkan mereka, maka bergegaslah mereka menyusul sang ibu. Kemudian sang anak berkata, “emak tunggulah kami, tunggu kami, adik kelaparan susu, kelaparan nasi.” Sang ibu tidak mendengar keluhan anaknya, lalu berkata pula, “batu belah batu bertangkup, tangkuplah aku…” Gesekan batu pun terdengar sampai tujuh kali, akhirnya san ibu ditangkup batu, hingga tujuh lembar rambutnya pun diambila anaknya buat kenang-kenangan. Dan kedua bocah cilik tersenbut meratap pilu bersama gemercik air, kemudian mereka pun berkelanan selaku anak yatim piatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar